Pengaturan mengenai kategorisasi perbuatan korupsi sebagaimana yang diatur
dalam Undang-undang No. 20 tahun 2001 ini bersifat lebih rinci dibandingkan
pengaturan yang ada dalam undang-undang sebelumnya. Berdasarkan penafsiran
terhadap ketentuan-ketentuan yang ada dalam Undang-undang No. 20 tahun 2001 jo
Undang-undang No. 31 tahun 1999 maka tindak pidana korupsi dikategorisasikan
menjadi dua, yaitu tindak pidana korupsi
dan tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi.
Kategorisasi pertama tersebut dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 5 s/d 12 Undang-undang
No. 20 tahun 2001 jo Pasal 13 s/d 16 UU No. 31 tahun 1999. Kategorisasi kedua
dapat dilihat dalam 21 s/d 24 Undang-undang No. 31 tahun 1999.
Kategorisasi pertama ini lebih mengacu terhadap pelaku tindak pidana
korupsi, baik pelaku utama maupun pelaku yang sekedar memberikan bantuan
sehingga memungkinkan terjadinya korupsi. Perincian dari kategorisasi tersebut
adalah sebagai berikut:
a.
Korupsi yang terjadi antara pegawai negeri atau
penyelenggara negara dengan pihak non penyelenggara negara berupa pemberian
atau janji kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya
pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat
sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan
berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau
tidak dilakukan dalam jabatannya (vide Pasal 5 ayat (1));
b.
Korupsi yang terjadi di lingkungan peradilan yang dapat
mempengaruhi putusan perkara, dengancara memberikan atau menjanjikan sesuatu
kepada hakim (vide Pasal 6 ayat (1));
c.
Korupsi yang terjadi di lingkungan kegiatan
pemborongan, pembangunan, dan pengadaan barang (vide Pasal 7 ayat (1)).
d.
Penggelapan uang atau surat berharga yang dilakukan
oleh pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan
menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau sementara waktu (vide
Pasal 8);
e.
Pemalsuan yang dilakukan oleh pegawai negeri atau orang
lain selain pegawai negeri yang
ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secra terus menerus atau sementara
waktu (vide Pasal 9);
f.
Gratifikasi (pemberian uang, barang, rabat/diskon,
komisi, pinjaman tanpa bungan, tiket perjalanan, fasilitas penginapan,
perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan lain sebagainya) yang diterima
oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara berkaitan dengan jabatan dan
kewajibannya (vide Pasal 11 dan 12);
g.
Pemberian hadiah atau janji kepada pegawai negeri
karena jabatan atau kedudukannya (Pasal 13);
h.
Pelanggaran terhadap
ketentuan undang-undang lain baik secara formal maupun materiil yang
mengkategorikan perbuatan tersebut sebagai tindak pidana korupsi (Pasal 14);
i.
Perbuatan percobaan pembantuan atau pemufakatan jahat
untuk melakukan tindak pidana korupsi (Pasal 15);
j.
Perbuatan, yang terjadi di dalam wilayah Republik Indonesia,
memberikan bantuan, kesempatan, sarana, atau keterangan untuk terjadinya tindak
pidana korupsi (Pasal 16).
Kategorisasi kedua menitikberatkan pada
perbuatan yang berkaitan dengan kategorisasi pertama, sebagai berikut:
a.
Perbuatan mencegah, merintangi, atau menggagalkan
secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di
sidang terdakwa maupun para saksi dalam perkara korupsi (vide Pasal 21);
b.
Perbuatan tidak memberikan keterangan atau memberi
keterangan yang tidak benar (vide Pasal 22);
c.
Pelanggaran terhadap ketentauan dalam Pasal 220, Pasal
231, Pasal 421, Pasal 442, Pasal 429 atau Pasal 430 Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (vide Pasal 23).
Sebagai bahan pembanding terhadap kategorisasi
menurut Undang-undang No. 20 tahun 2001 jo Undang-undang No. 31 tahun 1999,
maka adalah sesuatu hal yang menarik bila melihat kepada kajian yang dilakukan
oleh The Norwegian Agency for Development Cooperation. Pengkategorian
tersebut ditujukan untuk mencegah timbulnya overlapping dan tertukarnya
pengertian-pengertian tersebut satu sama lainnya. Selain itu pengkategorian
korupsi ini juga memiliki tujuan untuk memudahkan pengidentifikasian terhadap
karakter-karakter dasar korupsi. Kategorisasi tersebut adalah sebagai berikut
(2004):
1.
Penyuapan adalah pembayaran (baik dalam bentuk
uang ataupun dalam bentuk lainnya) yang diberikan atau diterima dalam suatu
hubungan yang korup. Untuk membayar atau menerima suap dapat digolongkan
sebagai korupsi, dan harus dipahami sebagai inti dari korupsi. Penyuapan adalah
suatu jumlah tertentu, suatu persentase dari nilai kontrak, atau bentuk-bentuk
lain dari pemberian uang, yang biasanya dibayarkan kepada pejabat negara yang
dapat membuat kontrak atas nama negara atau mendistribusikan keuntungan kepada
negara, individu, pengusaha dan klien.
Suap sendiri dapat dibedakan atas pembayaran kembali, uang pelicin, dan
hadiah, yang diterima dari publik. Bentuk-bentuk pembayaran tersebut ditujukan
untuk mempercepat dan mempermudah berbagai urusan yang berkaitan dengan birokrasi
negara. Pemberian tersebut dipergunakan
untuk menghindari pajak, peraturan-peraturan yang berkaitan dengan lingkungan
hidup, atau bahkan untuk memproteksi pasar dan monopoli, perizinan
ekspor-impor, dan lain-lain.
Suap juga dapat berupa pajak tidak resmi, jika pejabat publik membebankan
“biaya tambahan” (under the table payment) kepada konsumen
(masyarakat/publik). Dapat pula
dikategorikan sebagai suap apabila seorang pejabat pemerintah atau orang-orang
partai yang melakukan kampanye dan kemudian oleh para pemilihnya diberikan
donasi ataupun bentuk-bentuk hadiah lainnya.
2.
Penggelapan merupakan bentuk pencurian yang
dilakukan oleh pejabat publik terhadap publik, merupakan bentuk penyalahgunaan
dana publik. Penggelapan terjadi bila pejabat negara mencuri dari institusi
publik yang dipimpinnya. Bagaimanapun, pegawai yang tidak loyal dapat
menggelapkan uang dan bentuk-bentuk lainnya dari tempat mereka bekerja.
Dari sudut hukum, penggelapan tidak termasuk dalam
kategori korupsi. Menurut terminasi hukum korupsi merupakan transaksi antara
dua individu, yaitu pemerintah di satu sisi dan publik di sisi lainnya, yaitu
oknum pemerintah tersebut mempergunakan hukum dan peraturan untuk melindungi
dirinya dari bentuk suap. Penggelapan lebih tepat dikategorikan sebagai bentuk
pencurian karena perbuatan tersebut tidak melibatkan sisi publik secara
langsung. Berdasarkan hal tersebut harus
ada political will yang bertindak sebagai suatu kekuasaan kehakiman yang
bebas dan kemampuan hukum untuk mengawasi penggelapan. Penggelapan merupakan
bentuk dari korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Dapat dikategorikan sebagai
penggelapan adalah manakala pejabat publik melalui kekuasaan dan kewenangan
yang dimilikinya memperluas bisnis pribadi dan mendistribusikannya kepada
anggota-anggota keluarga mereka. Sejumlah bentuk perusahaan negara dan badan
usaha negara lainnya dipegang oleh orang-orang yang dekat dan keluarga dari
pihak yang berkuasa.
3.
Penipuan merupakan kejahatan ekonomi yang
melibatkan bentuk-bentuk tipuan. Hal ini merupakan perluasan bentuk dari
penggelapan dan suap. Sebagai contoh dari bentuk penipuan adalah bila agen-agen
negara dan perwakilan-perwakilan negara terikat dalam jaringan perdagangan
ilegal.
4.
Pemerasan adalah meminta uang ataupun
bentuk-bentuk lainnya yang mempergunakan kekerasan dan paksaan. Yang dapat
dikategorikan sebagai bentuk pemerasan dalam hal ini adalah penarikan uang
perlindungan atau uang keamanan yang biasa dilakukan oleh “preman-preman”.
Praktek korupsi pada bentuk ini dapat juga berasal dari atas, jika negara sendiri yang bertindak sebagai mafia.
5.
Kolusi merupakan mekanisme penyalahgunaan
wewenang dalam hal privatisasi dan distribusi
yang bias dari sumber daya milik
negara. Kolusi merupakan
perbuatan yang melibatkan orang-orang yang memiliki kedekatan seperti misalnya
keluarga, orang yang dipercayai ataupun kolega. Kolusi berkaitan dengan korupsi
yang berdampak terhadap tidak meratanya distribusi sumber daya. Kolusi bukan
hanya merupakan permasalahan hukum dan prosedur melainkan juga menyangkut mengenai
permasalahan kualifikasi, skill dan inefisiensi.
6.
Nepotisme adalah bentuk khusus dari kolusi,
pemegang kekuasaan lebih menyenangi dalam berhubungan dengan orang-orang
tertentu seperti misalnya keluarga.
0 comments:
Post a Comment