Thursday, 12 February 2015

UU Korupsi & Mengenal Enam Indikasi Korupsi


Pengaturan mengenai kategorisasi perbuatan korupsi sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No. 20 tahun 2001 ini bersifat lebih rinci dibandingkan pengaturan yang ada dalam undang-undang sebelumnya. Berdasarkan penafsiran terhadap ketentuan-ketentuan yang ada dalam Undang-undang No. 20 tahun 2001 jo Undang-undang No. 31 tahun 1999 maka tindak pidana korupsi dikategorisasikan menjadi dua, yaitu tindak pidana korupsi  dan tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Kategorisasi pertama tersebut dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 5 s/d 12 Undang-undang No. 20 tahun 2001 jo Pasal 13 s/d 16 UU No. 31 tahun 1999. Kategorisasi kedua dapat dilihat dalam 21 s/d 24 Undang-undang No. 31 tahun 1999.
Kategorisasi pertama ini lebih mengacu terhadap pelaku tindak pidana korupsi, baik pelaku utama maupun pelaku yang sekedar memberikan bantuan sehingga memungkinkan terjadinya korupsi. Perincian dari kategorisasi tersebut adalah sebagai berikut:  
a.       Korupsi yang terjadi antara pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan pihak non penyelenggara negara berupa pemberian atau janji kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya (vide Pasal 5 ayat (1));
b.      Korupsi yang terjadi di lingkungan peradilan yang dapat mempengaruhi putusan perkara, dengancara memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada hakim (vide Pasal 6 ayat (1));
c.       Korupsi yang terjadi di lingkungan kegiatan pemborongan, pembangunan, dan pengadaan barang (vide Pasal 7 ayat (1)).
d.      Penggelapan uang atau surat berharga yang dilakukan oleh pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau sementara waktu (vide Pasal 8);
e.       Pemalsuan yang dilakukan oleh pegawai negeri atau orang lain selain pegawai  negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secra terus menerus atau sementara waktu (vide Pasal 9);
f.       Gratifikasi (pemberian uang, barang, rabat/diskon, komisi, pinjaman tanpa bungan, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan lain sebagainya) yang diterima oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara berkaitan dengan jabatan dan kewajibannya (vide Pasal 11 dan 12);
g.      Pemberian hadiah atau janji kepada pegawai negeri karena jabatan atau kedudukannya (Pasal 13);
h.      Pelanggaran terhadap  ketentuan undang-undang lain baik secara formal maupun materiil yang mengkategorikan perbuatan tersebut sebagai tindak pidana korupsi (Pasal 14);
i.        Perbuatan percobaan pembantuan atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi (Pasal 15);
j.        Perbuatan, yang terjadi di dalam wilayah Republik Indonesia, memberikan bantuan, kesempatan, sarana, atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana korupsi (Pasal 16). 
Kategorisasi kedua menitikberatkan pada perbuatan yang berkaitan dengan kategorisasi pertama, sebagai berikut:
a.       Perbuatan mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang terdakwa maupun para saksi dalam perkara korupsi (vide Pasal 21);
b.      Perbuatan tidak memberikan keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar (vide Pasal 22);
c.       Pelanggaran terhadap ketentauan dalam Pasal 220, Pasal 231, Pasal 421, Pasal 442, Pasal 429 atau Pasal 430 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (vide Pasal 23).
Sebagai bahan pembanding terhadap kategorisasi menurut Undang-undang No. 20 tahun 2001 jo Undang-undang No. 31 tahun 1999, maka adalah sesuatu hal yang menarik bila melihat kepada kajian yang dilakukan oleh The Norwegian Agency for Development Cooperation. Pengkategorian tersebut ditujukan untuk mencegah timbulnya overlapping dan tertukarnya pengertian-pengertian tersebut satu sama lainnya. Selain itu pengkategorian korupsi ini juga memiliki tujuan untuk memudahkan pengidentifikasian terhadap karakter-karakter dasar korupsi. Kategorisasi tersebut adalah sebagai berikut (2004):

1.       Penyuapan adalah pembayaran (baik dalam bentuk uang ataupun dalam bentuk lainnya) yang diberikan atau diterima dalam suatu hubungan yang korup. Untuk membayar atau menerima suap dapat digolongkan sebagai korupsi, dan harus dipahami sebagai inti dari korupsi. Penyuapan adalah suatu jumlah tertentu, suatu persentase dari nilai kontrak, atau bentuk-bentuk lain dari pemberian uang, yang biasanya dibayarkan kepada pejabat negara yang dapat membuat kontrak atas nama negara atau mendistribusikan keuntungan kepada negara, individu, pengusaha dan klien.
Suap sendiri dapat dibedakan atas pembayaran kembali, uang pelicin, dan hadiah, yang diterima dari publik. Bentuk-bentuk pembayaran tersebut ditujukan untuk mempercepat dan mempermudah berbagai urusan yang berkaitan dengan birokrasi negara.  Pemberian tersebut dipergunakan untuk menghindari pajak, peraturan-peraturan yang berkaitan dengan lingkungan hidup, atau bahkan untuk memproteksi pasar dan monopoli, perizinan ekspor-impor, dan lain-lain.
Suap juga dapat berupa pajak tidak resmi, jika pejabat publik membebankan “biaya tambahan” (under the table payment) kepada konsumen (masyarakat/publik).  Dapat pula dikategorikan sebagai suap apabila seorang pejabat pemerintah atau orang-orang partai yang melakukan kampanye dan kemudian oleh para pemilihnya diberikan donasi ataupun bentuk-bentuk hadiah lainnya.

2.      Penggelapan merupakan bentuk pencurian yang dilakukan oleh pejabat publik terhadap publik, merupakan bentuk penyalahgunaan dana publik. Penggelapan terjadi bila pejabat negara mencuri dari institusi publik yang dipimpinnya. Bagaimanapun, pegawai yang tidak loyal dapat menggelapkan uang dan bentuk-bentuk lainnya dari tempat mereka bekerja.
Dari sudut hukum, penggelapan tidak termasuk dalam kategori korupsi. Menurut terminasi hukum korupsi merupakan transaksi antara dua individu, yaitu pemerintah di satu sisi dan publik di sisi lainnya, yaitu oknum pemerintah tersebut mempergunakan hukum dan peraturan untuk melindungi dirinya dari bentuk suap. Penggelapan lebih tepat dikategorikan sebagai bentuk pencurian karena perbuatan tersebut tidak melibatkan sisi publik secara langsung.  Berdasarkan hal tersebut harus ada political will yang bertindak sebagai suatu kekuasaan kehakiman yang bebas dan kemampuan hukum untuk mengawasi penggelapan. Penggelapan merupakan bentuk dari korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Dapat dikategorikan sebagai penggelapan adalah manakala pejabat publik melalui kekuasaan dan kewenangan yang dimilikinya memperluas bisnis pribadi dan mendistribusikannya kepada anggota-anggota keluarga mereka. Sejumlah bentuk perusahaan negara dan badan usaha negara lainnya dipegang oleh orang-orang yang dekat dan keluarga dari pihak yang berkuasa. 

3.       Penipuan merupakan kejahatan ekonomi yang melibatkan bentuk-bentuk tipuan. Hal ini merupakan perluasan bentuk dari penggelapan dan suap. Sebagai contoh dari bentuk penipuan adalah bila agen-agen negara dan perwakilan-perwakilan negara terikat dalam jaringan perdagangan ilegal.

4.      Pemerasan adalah meminta uang ataupun bentuk-bentuk lainnya yang mempergunakan kekerasan dan paksaan. Yang dapat dikategorikan sebagai bentuk pemerasan dalam hal ini adalah penarikan uang perlindungan atau uang keamanan yang biasa dilakukan oleh “preman-preman”. Praktek korupsi pada bentuk ini dapat juga berasal dari atas, jika negara  sendiri yang bertindak sebagai mafia.

5.       Kolusi merupakan mekanisme penyalahgunaan wewenang dalam hal privatisasi dan distribusi  yang bias dari sumber daya milik  negara.  Kolusi merupakan perbuatan yang melibatkan orang-orang yang memiliki kedekatan seperti misalnya keluarga, orang yang dipercayai ataupun kolega. Kolusi berkaitan dengan korupsi yang berdampak terhadap tidak meratanya distribusi sumber daya. Kolusi bukan hanya merupakan permasalahan hukum dan prosedur melainkan juga menyangkut mengenai permasalahan kualifikasi, skill dan inefisiensi.


6.       Nepotisme adalah bentuk khusus dari kolusi, pemegang kekuasaan lebih menyenangi dalam berhubungan dengan orang-orang tertentu seperti misalnya keluarga.

0 comments:

Post a Comment

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com